Hukum China : Kebijakan 1 Anak di Tiongkok | Apa Aja Serba Ada
Home » , , , » Hukum China : Kebijakan 1 Anak di Tiongkok

Hukum China : Kebijakan 1 Anak di Tiongkok

Kebijakan satu anak (Hanzi Sederhana计划生育政策Hanzi Tradisional計劃生育政策Pinyinjìhuà shēngyù zhèngcè, diterjemahkan menjadi "kebijakan keluarga berencana") dilaksanakan oleh negara Tiongkok dari tahun 1978 hingga 2015 sebagai kebijakan keluarga berencana. 76% penduduk mendukung kebijakan ini. Sekitar 250 dan 300 juta kelahiran dicegah dari 1978 hingga tahun 2000 dan 400 juta kelahiran dari 1979 hingga 2010.

Kebijakan ini dikeluarkan oleh pemimpin tinggi Deng Xiaoping pada tahun 1979 untuk mengurangi populasi penduduk Tiongkok.Kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan Mao Zedong pada 1949 'Dari semua benda di dunia, manusia adalah yang paling utama'. Lebih banyak penduduk, bermakna lebih banyak tenaga kerja.



Selama masa jabatan kepemimpinan Mao di Republik Tiongkok, tingkat angka kelahiran menurun dari 37 menjadi 20 per seribu. Sedangkan pada tahun 1949 angka kematian bayipun meningkat menjadi 27/1000, dan terjadi peningkatan angka kelahiran pada tahun 1981 menjadi 53/1000. Peningkatan harapan hidup terjadi secara drastis dari hanya sampai 35 tahun pada tahun 1949 menjadi 66 tahun pada tahun 1976. Sekitar tahun 1960-an, pemerintah berusaha mendorong para keluarga untuk memiliki keturunan sebanyak mungkin, karena berdasarkan kepercayaan Mao bahwa peningkatan populasi penduduk akan mempengaruhi pertumbuhan sebuah negara, sehingga Mao mencegah program Keluarga Berencana di Tiongkok. Dari langkah pencegahan Mao terhadap program Keluarga Berencana, membuahkan hasil yakni terjaidnya peningkatan populasi dari angka 540 juta pada tahun 1949 menjadi 940 tahun 1976. Namun awal tahun 1970, para penduduk Tiongkok diharapkan untuk menikah di umur yang dianggap sudah matang dan hanya diperbolehkan memiliki tidak lebih dari 2 anak.


Meski kebijakan satu anak per keluarga dijalankan dengan keras di wilayah perkotaan, namun penerapannya berbeda dari satu lokasi ke lokasi lain. Di wilayah pedesaan, satu keluarga diperbolehkan memiliki anak kedua bila anak pertamanya berjenis kelamin perempuan, cacat fisik, atau pun cacat mental. Namun, ada pembatasan jarak umur antara pertama dan anak kedua (biasanya 3 atau 4 tahun). Bila lebih dari jumlah anak yang diperbolehkan, keluarga tersebut akan dikenakan denda dan mungkin kehilangan bonus dari tempatnya bekerja. Namun, peraturan ini tidak diterapkan pada anak dari keluarga Tiongkok yang lahir di luar negeri tetapi tidak memiliki kewarganegaraan Tiongkok serta keluarga yang kembali ke Tiongkok setelah lama tinggal di luar negeri. Kelompok lain yang dikenai peraturan berbeda adalah warga negara Tiongkok yang berasal dari etnis selain Han. Selain itu, ada pula keluarga yang memilih untuk memiliki anak lebih dari satu dan membayar denda.

Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2007 oleh University of California, Irvine, kebijakan ini terbukti efektif menekan angka kelahiran. Saat ini angka kelahiran rata-rata di China adalah 1,4 kelahiran per wanita. Namun sebagai efek sampingnya, penuaan populasi dan pertumbuhan populasi negatif terjadi di beberapa daerah. Sebuah kelompok khusus yang terdiri dari akademisi dari Tiongkok maupun luar Tiongkok juga dibentuk untuk mempelajari hasil kebijakan ini sejak 2001. Pada tahun 2004, kelompok ini mengeluarkan laporan yang membahas tentang efek kebijakan terhadap distribusi usia dan jenis kelamin, namun demikian pemerintah tidak mendukungnya. Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa kebijakan ini akan terus berlangsung setidaknya hingga tahun 2015.

Setelah kebijakan satu anak diberlakukan, rata-rata kelahiran di Tiongkok turun dari 2,63 kelahiran per wanita pada tahun 1980(sudah terjadi penurunan tajam lebih dari lima kelahiran per wanita pada awal tahun 1970) menjadi 1,61 pada tahun 2009. Namun, kebijakan itu sendiri kemungkinan berpengaruh pada keseluruhan rata-rata kelahiran.
Tiongkok, seperti kebanyakan negara Asia lainnya, memiliki tradisi turun-temurun. Secara umum, penjelasan mengenai anak preferensi dapat diterima oleh anak-anak dalam keluarga yang tinggal di pedesaan, karena dianggap lebih bermanfaat dalam bertani. Antara populasi pedesaan dan perkotaan memiliki insentif ekonomi dan tradisional seksis, termasuk sisa-sisa paham Konfusianisme, yang lebih mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan. Anak laki-laki lebih disukai karena mereka memberikan kebutuhan keuangan utama bagi orang tua saat masa pensiun, dan orang tua laki-laki biasanya lebih baik dalam merawat anak daripada isterinya.

Fokus Tiongkok terhadap hal ini guna membantu pengendalian populasi penduduk dalam rangka menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik bagi perempuan serta pengurangan risiko kematian dan cedera akibat kehamilan. Di dalam kantor keluarga berencana di Tiongkok (atau Bidan di Indonesia), setiap perempuan mendapatkan alat kontrasepsi secara gratis dan juga kelas pra-kehamilan, yang berkontribusi terhadap keberhasilan kebijakan tersebut, hal ini terdiri dari dua hal. Pertama, rumah tangga rata-rata di negara Tiongkok mengeluarkan lebih sedikit sumber daya, baik dari segi waktu dan uang, hal ini tentunya dapat digunakan sebagai lahan berinvestasi bagi Tiongkok. Kedua, sejak masih kecil tidak bisa lagi mengandalkan anak-anak yang untuk dapat merawat orangtua, hal ini menjadikan dorongan menghemat uang bagi masa depan.
Dengan pertimbangan ini, akhirnya pihak berwenang Tiongkok sukses besar dalam membantu menerapkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok saat ini. penurunan tingkat kesuburan serta pertumbuhan penduduk telah mengurangi masalah kelebihan penduduk di negeri ini, seperti epidemi, tempat tinggal kumuh, ketegangan pada masyarakat akibat penyalahgunaan lahan subur dan volume limbah yang tinggi.

Sejak 2012, selain karena kekhawatiran atas aborsi paksa dan pertimbangan lainnya, pembatalan kebijakan ini mulai didiskusikan di beberapa tempat. Salah satu dasar pemikirannya adalah, kelahiran anak baru di Tiongkok tidak akan memperlihatkan perbedaan signifikan antara dengan atau tanpa kebijakan ini.

Salah satu kritik yang sering dilontarkan oleh penentang kebijakan ini adalah pengendalian populasi sebenarnya bisa dilakukan dengan cara lain yang lebih tidak memaksa, misalnya penundaan atau pengaturan jarak kelahiran, yang akan memberikan hasil kurang lebih serupa dalam suatu periode waktu tertentu. Peninjauan kebijakan pada tahun 2003, bahwa sebenarnya beberapa alternatif tersedia untuk menggantikan kebijakan ini, namun masih belum dipertimbangkan oleh pemimpin politik Tiongkok

Kritik lain adalah klaim atas dampak kebijakan ini terhadap angka kesuburan dilebih-lebihkan.
Pemerintah menyatakan bahwa 400 juta kelahiran telah dicegah melalui kebijakan satu anak hingga 2011. Klaim ini diragukan Wang Feng, direktur Brooking Tsinghua Center for Public Policy dan Cai Yong dari Carolina Population Center di University of North Carolina Capel Hill, sebagai propaganda pemerintah, yang mencatat angka pencegahan kelahiran dari tahun 1979 hingga 2009 di angka 100 hingga 200 juta. Sebagai respon, Zhai, menyatakan bahwa klaim 400 juta tersebut bukan semata dampak dari kebijakan satu anak, namun juga termasuk beberapa kebijakan tedahulu yang telah dijalankan satu dekade sebelumnya.
Studi demografi atas Cina, sebagian dibiayai oleh UN Fund for Population Activities, memperlihatkan bahwa kombinasi pengentasan kemiskinan dan perawatan kesehatan lebih eektif mengurangi tingkat kesuburan dibanding pemaksaan pengendalian populasi yang sangat ambisius. Pada tahun 1988, Zeng Yi dan Profesor T Paul Schultz dari Yale University mendiskusikan efek dari transformasi pasar terhadap tingkat kesuburan di Tiongkok, dengan berarumentasi bahwa pengenalan sistem tanggung jawab kontrak dalam dunia pertanian yang diperkenalkan di awal 1980an melemahkan perecanaan keluarga pada periode tersebut, Zeng menyatakan bahwa sistem "big cooking pot" yang diperkenalkan telah membuat warga abai terhadap biaya pemeliharaan anak. Sementara di akhir 1980an, biaya ekonomi dan insentif yang diperkenalkan telah membuat menurunnya keinginan memiliki anak di kalangan petani.
Sebagaimana observasi oleh Hasketh, Lu, dan Xing: Kebijakan tersebut barangkali hanya bertanggung jawab sebagian terhadap total tingkat kesuburan. Penurunan paling dramatis atas angka tersebut sebenarnya adalah hasil dari kebijakan yang diimplementasikan pada kurun waktu 1970 hingga 1979, kebijakan "late, long, few" sukarela yang kemudian dikenal sebagai penundaan kelahiran, memperbesar jarak antar anak, dan memiliki lebih sedikit anak, telah menghasilkan pengurangan angka kesuburan total dari 5,9 ke 2,9. Setelah kebijakan satu anak diperkenalkan, terjadi penurunan lebih lanjut pada 1995, dan selanjutnya menjadi stabil pada angka 1,7.

Kebijakan satu anak sebenarnya secara prinsip maupun penerapannya dianggap melanggar hak asasi manusia dalam menentukan jumlah anggota keluarganya sendiri. Berdasarkan pernyataan dalam Konferensi Internasional atas Hak Asasi Manusia pada 1968, "Semua keluarga memiliki hak asasi manusia yang mendasar untuk menentukan dengan bebas dan bertanggung jawab jumlah dan jarak anak-anaknya."
Laporan pada tahun 2001 memperlihatkan pembatasan kuota 20.000 aborsi dan sterilisasi telah dilakukan di Huaiji, Provinsi Guangdong dalam satu tahun akibat penentangan kebijakan satu anak. Upaya ini termasuk penggunaan peralatan suara ultra untuk menandai kandidat aborsi di desa terpencil. Laporan sebelumnya memperlihatkan bahwa wanita yang hamil 8,5 bulan diaborsi paksa dengan penyuntikan larutan salin. Terdapat pula laporan kehamilan 9 bulan atau telah terlanjur dilahirkan, yang kemudian dibunuh pada saat proses melahirkan, atau sesaat setelah proses persalinan.

Di bawah kepemimpinan Sekretaris Jendral Partai Komunis Xi Jinping, kebijakan ini mengalami banyak pelonggaran, yang salah satunya disebabkan oleh munculnya kritik dari beberapa tokoh berpengaruh, termasuk Tian Xueyuan. Prospek perubahan juga muncul setelah direktur Biro Statistik Nasional Tiongkok Ma Jiantang menyatakan perlunya kebijakan yang tepat dan didukung data saintifik setelah data statistik menunjukkan bahwa populasi tenaga kerja Tiongkok menunjukkan penurunan pada tahun 2013.

Sejak 28 Oktober 2015, kebijakan ini telah dihapus, dan warga Tiongkok dapat memiliki hingga 2 anak.

sumber :  Wikipedia

0 Comments:

Post a Comment

Post Terbaru

Featured Post

Heboh Lumrah.com Kampanye Legalisasi Pornografi

Popular Posts

Latar Belakang Blog

Ajaserda memberikan anda info terbaru menarik dan minati.
Blog pribadi yang hobi mengulik dan mencari informasi dan membagikannya kepada kalian semua. Blogger hanya terinspirasi untuk campaign menuangkan isi pikirannya yang di ketahui dari banyak referensi, dan menyajikannya secara tulisan melalui blog ini agar dapat menjadi referensi untuk kalian juga.

Sebagian yang blogger tuliskan di sini belum tentu benar adanya dan berbentuk opini dari pemikiran pribadi blogger dan beberapa referensi yang blogger dapatkan.

Apabila pembaca blog ini senang dengan tulisan blogger mohon untuk berbagi kepada teman atau pun orang terdekat agar pembaca menjadi orang pertama yang mengetahui info-info menarik. Berbagilah selagi masih ada yang bisa kita bagikan :)
Back to top
Direktori Web Indonesia Direktori Blog Indonesia